Lenyapkan Kantuk Tanpa Kafein

Hilangkan kebergantungan pada kafein. Kita bisa melenyapkan kantuk dan kelelahan dengan cara-cara berikut:

- Makan pagi dengan menu sehat seimbang guna menjaga metabolisme dan konsentrasi.

- Sempatkan mengonsumsi camilan sehat antara waktu makan pagi dan makan siang. Contohnya, salad campuran sayur dan buah segar (karbohidrat kompleks). Jenis karbohidrat ini tidak mudah diubah menjadi gula dan lebih lama menyediakan energi bagi tubuh, sehingga kinerjanya tetap maksimal.

- Banyak bergerak dan melakukan peregangan. Ini penting untuk membantu mengatasi tubuh yang kelelahan.

- Kurangi asupan lemak saat makan siang agar tidak mengantuk menjelang sore hari. Konsumsi lemak berlebih di waktu ini akan membuat tubuh bekerja lebih lama untuk mencerna makanan, sehingga timbul rasa lelah.

Related Posts:

Tidur dan Penurunan Berat Badan

Apakah tidur yang sehat dapat menurunkan berat badan? Atau dengan menurunkan berat badan, tidur Anda menjadi lebih berkualitas?

Berbagai penelitian terus menunjukkan bagaimana tidur yang baik dapat membantu menurunkan berat badan. Namun penelitian para ahli dari Johns Hopkins University School of Medicine membuktikan sebaliknya. Dengan mengurangi berat badan, justru dapat membantu seseorang memperbaiki kualitas tidurnya lebih baik.

Para peneliti ini memantau perkembangan 77 orang dengan berat badan berlebih selama 6 bulan. Pada permulaan dan akhir penelitian para peserta diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gangguan tidur seperti, insomnia, mendengkur, kelelahan, kualitas tidur yang buruk, terbangun-bangun, bangun tak segar dan penggunaan obat tidur.  Para peneliti juga mencatat perubahan berat badan setiap orang.

Para peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menjalani program diet dan olah raga untuk menurunkan berat badan. Sementara kelompok kedua hanya menurunkan berat badan dengan menjaga diet makanan.

Hasilnya, kedua kelompok ini dapat mengalami penurunan berat badan sekitar 6,8 kg dan dapat mengurangi lemak perut sekitar 15 persen. Pengurangan lemak perut dilihat melalui pemeriksaan MRI. Sementara dari laporan survei para peserta melaporkan perbaikan kualitas tidur sebanyak 20 persen.

Tidur baik, bobot mudah turun.
Penelitian lain yang baru saja dipublikasikan lewat jurnal kedokteran SLEEP, menunjukkan bahwa pengurangan durasi tidur akan meningkatkan nafsu makan. Rasa lapar yang dipicu oleh kantuk pun didapati berbeda pada pria dan wanita.

Para peneliti menilai, perubahan hormon-hormon yang berpengaruh pada nafsu makan saat durasi tidur dikurangi. Ada 27 orang pria dan wanita yang turut serta dalam penelitian ini. Pertama para peserta diatur agar hanya tidur selama 4 jam untuk 3 malam. Tiga minggu kemudian mereka dibiarkan tidur selama 9 jam untuk 3 malam.

Pada dua periode penelitian, dicatat kadar glukosa, insulin, leptin, ghrelin dan hormon-hormon lain yang berperan mengatur nafsu makan.
Setelah mengurangi tidur, peserta pria mengalami peningkatan kadar ghrelin yang berperan dalam meningkat nafsu makan, sementara wanita tidak. Ghrelin itu dihasilkan oleh sel-sel pankreas. Kadarnya meningkat tajam sebelum makan dan perlahan menurun setelah makan.

Peserta wanita justru mengalami penurunan kadar GLP-1. GLP-1 dihasilkan oleh sel-sel usus ketika kita makan dan memiliki kecenderungan untuk mengurangi rasa lapar.

Tidur dan berat badan

Kedua penelitian ini memberikan hasil yang bertolak belakang. Yang pertama menunjukkan penurunan berat badan akan memperbaiki kualitas tidur, sementara yang kedua membuktikan durasi tidur yang cukup justru mempermudah penurunan berat badan. Sepertinya kedua penelitian ini memberikan kebenaran yang berbeda. Yang pertama kualitas tidur, sementara yang kedua durasi tidur.

Penelitian pertama tunjukkan bagaimana penurunan berat badan akan perbaiki kualitas tidur. Pada ras kaukasia, kegemukan merupakan penyebab utama sleep apnea. Mereka mendengkur ketika berat badan berlebih, tentu berbeda bagi ras Asia yang memiliki struktur tulang wajah berbeda. Rahang kita lebih sempit dan leher kita lebih pendek. Bagi orang Indonesia, tak perlu gemuk untuk menderita sleep apnea.

Dengan menumpuknya lemak di area leher, tentu akan menekan saluran nafas hingga lebih menyempit. Akibatnya organ-organ lunak akan bergetar dan sebabkan dengkuran. Selanjutnya tidur akan semakin dalam dan saluran nafas semakin melemas. Akibatnya terjadi penyumbatan total saluran nafas, hingga penderita sesak selama tidur. Penumpukan lemak daerah perut dan dada juga akan membatasi gerak nafas. Dengan adanya sesak, penderita sleep apnea mudah terbangun hingga buruk kualitas tidurnya.

Penurunan berat badan jelas akan membantu pengurangan lemak dan dengan sendirinya memperbaiki kualitas tidur seseorang.

Sementara lewat penelitian kedua, kita paham bagaimana durasi tidur mempengaruhi nafsu makan dan berat badan pada akhirnya. Kurangnya durasi tidur membuat kita lebih lapar. Hanya mekanismenya berbeda pada pria dan wanita. Saat kurang tidur, pria akan merasa lebih lapar. Sedangkan wanita, akan merasa tak kunjung kenyang ketika durasi tidurnya kurang.

Para peneliti mendapati bahwa dengan durasi tidur yang kurang, manusia cenderung untuk makan berlebihan. Mungkin ini berkaitan dengan hipotesa mempertahankan kecukupan energi. Saat lelah dan mengantuk, tubuh butuh energi lebih banyak. Itu sebabnya, saat kurang tidur para peserta penelitian mengonsumsi 300 kalori lebih banyak dibanding saat cukup tidur.

Jadi gambaran umumnya seperti ini, kedua penelitian ini menunjukkan bagaimana tidur dan berat badan saling mempengaruhi. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya untuk kesehatan dan kebahagiaan. Berat badan berlebih jelas meningkatkan berbagai risiko penyakit seperti penyakit-penyakit jantung dan pembuluh darah dan diabetes. Sama halnya dengan tidur yang tidak sehat juga berisiko menderita diabetes, dan penyakit jantung-pembuluh darah.

Bila berat badan dibiarkan naik, dan tidur dibatasi terus sehingga keduanya saling memperburuk hal ini akan menjadi sebuah lingkaran setan. Namun  dengan mengendalikan berat badan dan memperbaiki tidur sehingga berat badan turun, nafsu makan terkendali, tidur nyaman dan hidup sehat serta bahagia, Anda akan masuk dalam lingkaran kebaikan. Mana yang akan Anda pilih? Semua tergantung pada diri Anda.

Related Posts:

Kurang Vitamin D Berisiko Diabetes

Penelitian para ahli kembali mengaitkan antara rendahnya kadar vitamin D dengan risiko yang lebih tinggi diabetes tipe 2 dan penyakit jantung. Dalam riset yang dirilis pada pertemuan tahunan The Endocrine Society di Houston, peneliti menemukan hubungan terbalik antara tingkat vitamin D dalam darah dengan sindrom metabolik, yang merupakan kelompok faktor risiko penyakit jantung dan diabetes tipe 2.
Peneliti melaporkan, mereka yang  memiliki kadar tertinggi vitamin D dalam darahnya memiliki risiko 48 persen lebih rendah mengalami sindrom metabolik ketimbang orang dengan kadar vitamin D terendah.

"Asosiasi ini telah didokumentasikan sebelumnya, tapi penelitian kami memperluas asosiasi untuk orang-orang dari latar belakang ras dan etnis yang beragam," kata peneliti utama, Joanna Mitri, MD, seorang peneliti di Tufts Medical Center, Boston.

Menurut peneliti, semua peserta yang terlibat dalam penelitian merupakan kelompok berisiko terkena diabetes karena mereka memiliki pradiabetes  atau tingginya kadar gula darah tetapi belum dapat diklasifikasikan sebagai diabetes.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), Amerika Serikat, pradiabetes mempengaruhi sekitar 79 juta orang Amerika yang berusia 20 atau lebih tua.

Dalam kajiannya, Mitri dan rekan membagi partisipan ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat plasma 25-hidroksivitamin D, cara paling umum digunakan untuk mengukur status vitamin D dalam tubuh. Institute of Medicine menyebutkan, tingkat vitamin D dalam darah dikatakan normal apabila tingkat 25-hydroxyvitamin D berada pada level 20 sampai 30 ng/mL.

Kelompok dengan tingkat tertinggi vitamin D memiliki konsentrasi vitamin D rata-rata 30,6 nanogram per mililiter (ng/mL), dan pada kelompok terendah memiliki konsentrasi vitamin D rata-rata dari 12,1 ng/mL. Hasil temuan menunjukkan,  peserta dengan tingkat vitamin D terendah berisiko mengalami sindrom metabolik.

Peneliti juga menemukan, peserta dengan status vitamin D terbaik memiliki lingkar pinggang yang lebih kecil, kolesterol baik (HDL) yang lebih tinggi dan kadar gula darah yang rendah.

Mitri memperingatkan, penelitian mereka tidak membuktikan bahwa kekurangan vitamin D menyebabkan diabetes tipe 2, atau bahkan ada hubungan antara dua kondisi tersebut.

"Sindrom metabolik adalah kondisi umum dan perkembangan diabetes tipe 2 sangat tinggi. Jika hubungan sebab akibat dapat diketahui pada studi yang sedang berlangsung, akan penting bagi masyarakat untuk mengonsumsi suplemen vitamin D karena mudah didapatkan dan harganya relatif murah," tutupnya.

Related Posts: